Di tengah hiruk-pikuk kehidupan urban Jakarta, terdapat sebuah tempat yang penuh dengan keheningan dan keberkahan, yakni makam Syaikh Salim bin Sumair al-Hadhrami. Terletak di bawah mihrab Masjid Jami’ Al-Makmur, Tanah Abang, makam ini tidak hanya menjadi tempat peristirahatan terakhir seorang ulama besar, tetapi juga menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang seorang guru yang telah menebarkan ilmu di berbagai penjuru dunia, khususnya di Indonesia. Di balik makam ini, tersembunyi warisan intelektual yang terus hidup hingga kini, yakni kitab Safinatun Najah yang merupakan karya monumental dari Syaikh Salim.
Makam Syaikh Salim menjadi salah satu situs yang sering diziarahi oleh para peziarah, baik untuk mendoakan beliau maupun untuk mengenang perjuangannya dalam dunia ilmu pengetahuan. Kitab Safinatun Najah, yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari pembelajaran ilmu fiqih di Indonesia, adalah bukti nyata dari dedikasi beliau dalam mendalami dan menyebarkan ajaran Islam. Kitab ini, yang berarti Perahu Keselamatan, adalah salah satu karya penting dalam khazanah pemikiran Islam, yang hingga saat ini masih menjadi referensi utama bagi banyak santri di pondok pesantren, majlis ta’lim, serta pengajian-pengajian di seluruh Tanah Air.
Kitab Safinatun Najah: Penuntun Ilmu Fiqih yang Sederhana dan Aplikatif
Kitab Safinatun Najah berisi ajaran dasar dalam ilmu fiqih yang merujuk pada mazhab Syafi’i, yang disusun dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Bagi para santri pemula, kitab ini menjadi salah satu bacaan utama yang wajib dikuasai, karena menjelaskan prinsip-prinsip dasar fiqih dengan cara yang mudah diakses oleh semua kalangan. Keistimewaan dari kitab ini terletak pada kesederhanaannya dalam menyampaikan ajaran agama, tanpa mengurangi substansi dan kedalaman ilmu yang terkandung di dalamnya. Kitab ini berhasil menjembatani antara kebutuhan praktis dalam kehidupan sehari-hari dengan pemahaman ilmiah yang mendalam, menjadikannya sangat relevan bagi umat Islam yang ingin memahami fiqih dengan cara yang praktis dan aplikatif.
Bagi masyarakat Indonesia, Safinatun Najah bukan hanya sekadar sebuah kitab, melainkan juga warisan intelektual yang hidup dalam setiap pengajian dan kajian ilmiah di pondok pesantren dan majelis-majelis ta’lim. Kitab ini menyentuh berbagai aspek kehidupan umat Islam, mulai dari ibadah, muamalah, hingga adab-adab yang perlu dijaga dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan bahasa yang lugas, kitab ini telah membuka banyak pintu ilmu bagi generasi penerus yang ingin memahami ajaran Islam secara utuh dan komprehensif.
Syaikh Salim bin Sumair: Ulama yang Mengabdi dengan Ilmu dan Akhlak
Syaikh Salim bin Sumair al-Hadhrami lahir di Hadramaut, Yaman, dan dikenal sebagai sosok yang tidak hanya cendekiawan, tetapi juga pengajar, hakim, politisi, serta pakar militer. Beliau juga dikenal luas sebagai seorang faqih yang sangat dihormati karena kedalaman ilmu dan kesantunan akhlaknya. Sebagai seorang ulama, Syaikh Salim memiliki pengaruh yang besar dalam menyebarkan ajaran Islam yang moderat dan penuh kasih sayang kepada umat. Salah satu momen penting yang mencerminkan kesungguhannya dalam mendalami ilmu adalah ketika beliau khatam Al-Qur’an saat melakukan thawaf di sekitar Ka’bah. Kejadian ini tidak hanya menggambarkan kecintaan beliau terhadap Al-Qur’an, tetapi juga menunjukkan tingkat spiritualitas yang tinggi, yang selalu beliau bawa dalam setiap langkah dakwah dan pengajarannya.
Sebagai seorang yang dihormati, Syaikh Salim bin Sumair bukan hanya terkenal karena ilmu fiqih yang beliau ajarkan, tetapi juga karena perilaku mulia yang beliau contohkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam setiap kesempatan, beliau selalu mengedepankan nilai-nilai kesopanan, ketulusan, dan dedikasi dalam mengajarkan ilmu kepada orang lain. Hal ini menjadikan beliau sebagai teladan bagi banyak generasi ulama dan santri di masa kini. Ilmu yang beliau ajarkan, baik dalam bentuk kitab maupun lisan, terus hidup dan menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang yang berusaha mengikuti jejak beliau dalam menyebarkan kedamaian dan kebaikan melalui dakwah.
Warisan Ilmu yang Abadi di Tanah Abang
Pada tahun 1271 Hijriyah, Syaikh Salim bin Sumair wafat di Jakarta, meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Namun, warisan ilmu yang beliau tinggalkan, terutama melalui kitab Safinatun Najah, terus abadi dan terus memberi manfaat hingga saat ini. Makam beliau yang terletak di Tanah Abang, Jakarta, tidak hanya menjadi tempat peristirahatan jasadnya, tetapi juga menjadi simbol perjuangan beliau dalam menyebarkan ilmu yang bermanfaat bagi umat Islam. Di sekitar makam ini, setiap hari ribuan doa dipanjatkan oleh para peziarah yang datang untuk mengenang jasa-jasanya, sekaligus mendoakan agar ilmu yang beliau wariskan terus berkembang dan membawa manfaat bagi umat Islam.
Makam Syaikh Salim bin Sumair bukan hanya menjadi tempat yang penuh dengan berkah, tetapi juga menjadi pengingat bagi kita semua tentang pentingnya ilmu dan akhlak dalam menjalani kehidupan. Sebagai pengarang kitab Safinatun Najah, beliau tidak hanya mengajarkan ilmu fiqih, tetapi juga mengajarkan kita untuk selalu menjaga sikap santun, rendah hati, dan penuh kasih sayang dalam setiap langkah kehidupan. Melalui karya-karya dan keteladanan hidupnya, Syaikh Salim bin Sumair telah memberikan kontribusi besar bagi dunia pendidikan Islam di Indonesia, dan tentunya, bagi umat Islam di seluruh dunia.
Dengan mengenang perjalanan hidup dan perjuangan beliau, kita diingatkan akan pentingnya melanjutkan perjuangan beliau dalam menyebarkan ilmu yang bermanfaat, serta menjalankan ajaran Islam yang moderat dan penuh kedamaian. Kitab Safinatun Najah akan terus menjadi cahaya penerang bagi mereka yang ingin memahami fiqih dengan cara yang sederhana dan aplikatif, serta menjadi perahu keselamatan bagi setiap umat yang ingin menempuh jalan yang diridhai oleh Allah.
Dr. Muhammad Padli, M.Pd.I
Guru Pondok Pesantren As’ad dan Dosen Mahad Aly Syekh Ibrahim Al Jambi Pondok Pesantren As’ad