Kala surya terbis dari arah timur dan tenggelam ke arah barat, Laras selalu saja melamun dan menangis sendirian, ia belum mempunya teman cerita, padahal sudah satu bulan Laras di Pesantren, tetapi masih juga ada kejanggalan dalam hatinya. Ia masih saja merindukan orang tua, keluarga dan kampung halamannya. Padahal masuk ke dunia pesantren adalah keinginannya sendiri, ia ingin membuat orang tuanya bangga dengan menuntut ilmu di pesantren. Namun, entah mengapa dia merasa menyesal karena keinginannya tersebut.
Bel asrama berbunya, jarum jam menunjukkan pukul 06:00 wib tanda semua santriwati harus meninggalkan asrama untuk bersekolah. Hari itu mata pelajaran Laras yang pertama adalah Aqidah Akhlak, dan yang mengajar adalah ustadzah Halimah.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh, anak-anak. Bagaimana kabarnya hari ini? Apakah semangat untuk memulai belajar hari ini?” tanya Ustadzah Halimah dengan penuh semangat.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh, semangat sekali ustadzah” jawab santri secara serentak, kecuali Laras yang terdiam tak bersuara dan hanya melamun, mungkin pandangan Laras tertuju kepada Ustadzah Halimah, namun fikirannya entah pergi kemana, di kelas itu cukup sunyi tetapi isi otaknya sangat berisik
“Sepertinya hanya aku saja yang tak bersemangat untuk belajar di kelas ini” kata Laras dalam hati. Ustadzah Halimah menyadari bahwa dari pertama Laras masuk sekolah sampai sekarang selalu saja melamun dan tampak lesu saat belajar. Nilai-nilainya pun rendah semua dan dia pun tidak punya teman karena suka menyendiri.
“Anak-anak, ustadzah ingin bertanya kepada kalian semua, apa tujuan kalian bersekolah disini? Apakah hanya sekedar ingin mandiri? Atau hanya untuk mencari teman?” tanya ustadzah Halimah.
“Saya kemari karena ingin menuntut ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama ustadzah” jawab Tita teman sekelas Laras.
“Ya, bagus sekali, jadi jika pekerjaanmu hanya menangis dan melamun saja, bagaimana caranya agar ilmu bisa masuk ke otak kalian? Dan bagaimana caranya agar kamu bisa memahami pelajaran?” Ustadzah Halimah Kembali memberi pertanyaan.
“Anak-anak, menuntut ilmu itu kewajiban setiap umat Islam, sebagaimana Haditsnya: tholabul ‘ilmi faridhotun ‘ala kulli muslimin. Ingat anak-anak sedikit saja rasa kepuasan terhadap ilmu itu hadir, bersiaplah menjadi orang yang di tinggalkan perkembangan zaman. Banggakan orang tuamu, kalian lihat mereka bekerja mati-matian demi kalian bersekolah, jangan membuat mereka kecewa, jangan membuat perjuangan mereka sia-sia, kejar cita-cita setinggi apapun, jadilah muslimah yang punya cita-cita dan impian yang dahsyat, jangan pernah takut menargetkan hal yang hebat, karena pertolongan Allah SWT akan hadir bagi hamba-hambanya yang punya niat baik untuk maju dan sukses di masa depan, saat ini mungkin kalian hidup jauh dari orang tua dan kampung halaman, namun ingatlah bahwa lelahmu, air matamu, usahamu, semuanya pasti akan terbalaskan dengan kesuksesan In sya Allah” jelas ustadzah Halima dengan wajah serius dan mata yang berkaca-kaca.
Seisi kelas menjadi sunyi, hanya suara angin berhembus yang terdengar, tiba-tiba setetes air mata jatuh dari Laras, ucapan dan nasihat ustadzah Halimah yang menyentuh hati itu membuat sadar bahwa dia salah karna terus-menerus menangis dan melamun.
Laras juga sadar bahwa waktunya selama ini dia buang sia-sia hanya untuk menyendiri yang seharusnya ia gunakan untuk menuntut ilmu dan belajar dengan serius, ia juga seharusnya tak menyesal karena keputusannya sekolah di pesantren, seharusnya yang dia pikirkan sekarang adalah bagaimana caranya membuat kedua orang tua dan keluarga bangga.
Sejak saat itu, Laras bertekad untuk membahagiakan orang tuanya dan belajar dengan sungguh-sungguh, serta berani memiliki impian dan cita-cita yang tinggi, impian Laras adalah ingin menjadi juara kelasnya. Namun, masalahnya adalah santriwati-santriwati yang ada di kelasnya cerdas-cerdas, ia pun memulai belajar dengan giat dan terus berdo’a kepada Allah SWT.
Laras ingin mengetahui bagaimana tahap-tahap dalam memperjuangkan sesuatu, akhirnya ia mendatangi ustadz Hakim kepala Asrama Pesantren.
“Ustadz, apa Langkah awal yang harus saya ambil jika saya ingin berusaha mendapatakan sesuatu? Apa saja tahapan-tahapannya? Tanya Laras dengan kepala yang ditundukkannya.
“Jika kamu ingin berusaha menggapai impian mu, tahap awal yang harus kamu ambil adalah ikhtiar dan berdo’a. mendapatkan sesuatu tidak bisa tanpa berusha, usaha yang ekstra akan menghasilkan sesuatu yang ekstra pula. Namun, disamping usaha harus ada do’a juga, ikhtiar tanpa do’a adalah sia-sia begitupun sebaliknya, usaha dengan sungguh-sungguh.
Kedua, tawakkal yaitu berserah diri sesudah kamu berdoa dan berusaha kamu harus menyerahkan semua hasilnya kepada Allah, jangan tawakkal dahulu baru ikhtiar dan berdo’a itu namanya pasrah tidak mau berusaha.
Terakhir qona’ah, yaitu menerima apa adanya atau dalam kata lain ialah bersyukur. Apapun hasilnya, apapun akhirnya, syukurilah karena takdir Allah itu lebih baik. Allah tahu mana yang terbaik bagi kamu dan mana yang tidak, terkadang yang kau benci adalah sesuatu yang Allah suka, dan yang kau suka adalah sesuatu yang Allah benci” jelas Ustadz hakim
“Baik ustadz, terima kasih: Ucap laras.
“Nak, ingat ya. Penuntut ilmu tidak boleh bermalas-malasan, penuntut ilmu hanya tidur lima jam dan tidak boleh lebih dari itu” tegas ustadz Hakim.
“Siap Ustadz” kata Laras
Kini kala azan berkumandang, Laras langsung mengambil wudhu dan pergi ke masjid, setiap dalam sholatnya ia selalu mendo’akan kedua orang tuanya, menyebut impian dan cita-citanya dan selalu saja ia meneteskan air mata, begitupun Ketika sholat tahajjud di sepertiga malamnya.
“Aku tidak boleh kalah dan menyerah” ucap Laras dalam hati, selalu ia ucapkan kata itu dalam hati, Ketika dia sedang Lelah. Ia juga selalu mengingat ucapan Ustadz Hakim bahwa penuntut ilmu hanya tidur 5 jam, maka 19 jamnya Laras terjaga untuk selalu belajar dan lima jamnya untuk beristirahat.
Tak terasa sudah hampir enam bulan ia berada di dunia pesantren, tidak pernah lupa ia selalu rajin belajar dan terus berdoa. Ujian pun sudah selesai, waktunya terima raport dan pulang ke kampung halaman, suasana hati Laras bercampur aduk, ada rasa senang karena sebentar lagi pulang dan ada rasa takut karena besok terima raport dan dia takut semua yang ada di ekspektasinya ternyata tidak terwujud.
Pagi pun tiba, kini waktunya pengumuman juara kelas, hati Laras tak tenang, dia hanya bisa berdoa kepada Allah. Ustadzah Puja wali kelas Laras pun datang membawa tumpukan raport hasil kerja keras semua santriwati.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh anak-anak, baik hari ini Ustadzah datang untuk membagikan laporan hasil belajar kalian selama enam bulan ini, langsung saja, ustadzah akan sebutkan nama-nama juara di kelas kita” jelas ustadzah Puja.
“Juara tiga, diduduki oleh Fatimatuz Zuhro” ucap Ustadzah Puja Lantang.
“Apakah aku akan berhasil? Atau apakah semua usaha ku sia-sia?” batin Laras.
“Juara dua, diduduki oleh Najwa Aqila” kata ustadzah.
“Ya Allah, apakah semua usaha ku belum cukup? Ya Allah aku ingin membuat orang tuaku bangga, ya Allah” hati Laras ingin menangis.
“ Juara satu… diduduki oleh Larasati Wulandari! Selamat untuk Laras” teriak Ustadzah Puja dengan penuh senyuman.
“Masya Allah, Allahu Akbar, Ya Allah, terima kasih ya Allah. Hanya kepada mu lah aku memohon dan hanya kepadamu lah aku meminta pertolongan” tangis Laras tersedu-sedu.
“Terima kasih atas semua yang engkau berikan, ya Allah. Terima kasih telah mengabulkan do’aku” ucap Laras, ia tidak menyangka bisa benar-benar menjadi juara di kelasnya, Laras tidak pernah bosan berjuang dan berdo’a, karena Laras tahu, mungkin walau sekarang do’anya belum dikabulkan, Allah akan mengabulkan di waktu yang tepat dengan sesuatu yang tepat.
Bagi Laras, Allah menetapkan nasib manusia berdasarkan harapan dan upaya yang dimilikinya, teruslah kembangkan layar dan nikmati perjalanannya hingga sampai ke tujuan. Belajar dengan sungguh-sungguh, berdo’a dengan sungguh-sungguh.
Dira Juliatri
Santri kelas X Madrasah Aliyah Pondok Pesantren As’ad